HUJAN, KAU MENGINGATKANKU TENTANG IA



HUJAN, KAU MENGINGATKANKU TENTANG IA
Oleh: Soibah

Brak. Perlahan aku menutup pintu kamarku. Aku termenung sejenak,  ketika melihat hujan  dari kejauhan. Dan tak kusangka-sangka butiran demi butiran membasahi pipi kanan kiriku.  Kadang juga  tersirat senyum yang selalu mengingatkanku tentang arti hujan dalam kenangan-kenangan kisah itu. Air mata itu semakin membuatku teriris dalam benak jiwaku yang terdalam. Dan tetesan hujan itu membuatku bernostalgia dalam puing-puing masa lalu. Semua berawal dari pelukan hangat yang membuatku tegar untuk menghadapi dunia luar.
Senja, tepat tanggal 14 Maret 2015 pukul 2 siang,  kabar itu membuatku menangis histeris. Yah, semua berawal dari kepergianku meninggalkan kota kelahiranku di pelosok untuk mewujudkan cita-cita ku. Di kota pelajar ini aku mulai menyadari untuk bisa terus belajar memahami arti seorang pahlawan. Ia bukanlah pahlawan dalam kelahiranku tapi ia adalah pahlawan dalam tangis dan tawaku untuk mengiringi kesuksesan diriku. Walaupun mula-mula aku marah pada dirinya karena saat ku terpuruk ia hanya menertawakan diriku dan tidak pernah memerdulikan diriku karena kegagalan itu. Kala itu, diriku seperti ditampar dan ditendang oleh isi dunia ini. Yah, kabar aku tidak lulus atau tidak diterima di Universitas yang kuharapkan untuk meniti kehidupan yang lebih baik. Namun, apalah daya aku yang sekarang dan selamanya berstatus menjadi makhluk yang lemah, yang hanya bisa berusaha dan berdoa.
Semenjak itu aku marah pada sosok dirinya dan tak mau mendengar nasehat darinya. Ia berkata kepadaku “apakah susah mengerjakan soal-soal itu? Kok kamu nggak bisa lulus dari ujian tersebut?”. Aku serasa kena petir di siang bolong. Dan akupun hanya bisa menundukan kepalaku. Dalam benakku berkata “sekeras mungkin aku berusaha kalau Tuhan tidak menghendaki aku di sana apakah aku bisa lari dari takdir ini”. Waktu terus bergulir seperti jam berputar pada porosnya. Tak berfikir apakah aku masih marah dengan sosok ia atau masalah itu hilang dengan bergulirnya waktu.
Detik berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam, jam berganti menjadi hari sampai 2 tahun berlalu. Walaupun aku masih memapah kakiku di kota pelajar ini, tapi aku tak bisa masuk ke Universitas yang aku harapkan dari dulu. Tapi, aku baru sadar jikalau aku masuk Universitas yang kuidamkan belum tentu aku bisa seperti ini. Dimana aku di sini sangat menghargai apa itu kepercayaan dan arti sebuah perjuangan sang sosok ia.
Ia terus memapahku dari jurang kehidupan yang penuh dengan sandiwara. Entah apa yang merasuki dalam tubuh dan pikiranku, aku mulai memahami sosok ia yang terus membuntuti dan menjelma dari yang jahat sampai menjadi orang yang penuh dengan kasih sayang. Apapun kemarahan sang sosok ia, aku mulai menitikan air mataku ketika aku tahu jejak sang sosok ia yang berusaha untuk menuntun aku lanyaknya sang ayah mengajari  anaknya untuk bisa berjalan. Perkataan yang terus aku kenang dalam puing kenangan untuk terus mengenang sosok ia. “jangan pernah mengangkat kalau kamu tidak kuat untuk mengangkatnya. Lebih baik lakukan apapun yang kau mau, tapi ingat ada orang yang menunggu kesuksesanmu di kota kelahiranmu. Jadilah orang yang membuat orang tuamu tersenyum bukan karena kecantikanmu tapi dari ketulusan hatimu untuk meraih kesuksesanmu dengan hasil terbaikmu”. Entahlah, setelah itu aku mengingat apa yang ia berikan dari hal kecil sampai hal-hal besar hanya untuk diriku.
Aku masih ingat kala aku sakit, aku hanya bisa menyebut nama sosok ia dalam benakku. Yah, alangkah egoisnya aku yang tak pernah mengerti di mana sosok ia berada atau berapa jarak jauh antara aku dengan sang sosok ia. Namun sosok ia, terasa hangat semakin mendekat dan terus mendekat hingga pelukan tangannya membuatku tenang sejenak dalam sakitnya yang aku rasa kala itu. Ia pun menangis tersedu dan panik tak karuan meminta tolong untuk membawa aku ke rumah sakit yang terdekat. Sulitnya mencari kendaraan untuk membawaku ke tempat yang lebih baik untuk ditangani oleh sang dokter. Mata sang sosok itu mulai memanas hingga suaranya pun hilang dalam ingatan ku, akupun tertidur  sejenak hingga akupun tak tahu di mana aku berada sekarang. Hingga kelopak mataku bisa membaca tulisan yang sangat jelas, “Rumah Sakit”.
Akhirnya aku baru sadar betapa susahnya perjuangan sang sosok ia memapah diriku di saat aku terlelap sejenak, tidak mengerti segala sesuatu di sekelilingku. Aku terkejut melihat sang sosok ia dengan langkah tegak walaupun pancaran wajahnya sangat lelah untuk dapat berdiri dengan tegak. Aku pun tersenyum dan terus tersenyum, air mataku terus tertutupi oleh tawa dan haruku. Aku mengingat keegoisanku waktu dulu yang marah seperti anak kecil dan terus merengek untuk meminta tanpa perdulikan perasaan dirinya terlebih dahulu.

Hujan itu terus mengunyur rumah kecilku. Terdengar suara itu membangunkanku dari lamunanku. Sang sosok ia terus memanggilku “dik ayo kita makan dulu, udah siang”. Aku pun beranjak dari kamar tidurku dan menjawab “ia kak”. Aku pun meninggalkan kenangan itu bersama derasnya hujan dan akan mengingatkanku  kembali saat tetesan keringat yang menjelma hujan yang menghapus kesedihan menjadi kebahagiaan yang patut dikenang dalam memori jejak langkah hidupku. Ya, seorang kakak yang berubah menjadi ayah  keduaku. Harapan  itu, terus aku kenang dalam anganku untuk melihat esok yang lebih baik bersama seorang sosok ia yang selamanya aku kenal seorang kaka yang tertera namanya dalam jiwa kehidupanku, terima kasih 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN FUNGSI PSIKOLOGI ISLAM

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN KEGUNAAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

PENGERTIAN PSIKOLOGI ISLAM