PENGERTIAN, TUJUAN, DAN HIKMAH NIKAH


PENGERTIAN, TUJUAN, DAN HIKMAH NIKAH
Makalah ini disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih Munakahat
Dosen Pengampu Nur Huri Musthofa, MSI.
Semester IV, Kelas PAI C



Disusun oleh:
Adi Riyansah           (15.10.1016)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AN-NUR
YOGYAKARTA
2017








KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulisan makalah yang berjudul Pengertian, Tujuan, dan Hikmah Nikah ini dapat terselesaikan  walaupun dalam proses penyusunannya, kami sering mengalami berbagai hambatan namun berkat kesabaran dan motivasi kami, makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini pula, Kami mengucapkan banyak  terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut serta atas sumbangan pemikiran dan pengalaman dalam penulisan makalah ini. Secara khusus ucapan terima kasih ini ditujukan kepada,
Ø  Bpk, Nur Huri Musthofa, MSI. sebagai dosen mata kuliah Fiqih III Munakahat, yang telah membimbing kami hingga makalah ini dapat diselesaikan
Ø  Orang tua kami yang telah memberi bantuan lewat doa
Ø  Teman-teman yang selalu mendukung dan memberi motivasi sehingga penulisan  makalah ini dapat terselesaikan
Akhir kata penulis  menyadari bahwa makalah ini belum sempurna sehingga kritik dan saran dari teman-teman yang positif dan dapat membangun sangat kami perlukan guna menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.














BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tidak ada yang paling bahagia dalam sebuah kehidupan di dunia, kecuali jika seseorang telah menemukan tambalan hatinya, mahligai rumah tangga yang bahagia, kekal penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Seorang laki-laki tidak pantas terus-menerus membujang, sementra ia sudah memiliki kemampuan secara ekonomis maupun biologis (kemantapan batiniah dan lahiriyah), demikian seorang wanita hendaknya tidak mununda-menunda waktu perkawinan karna ketika usia semakin tua maka semakin banyak kemungkinan keturunan akan sedikit.
Lalu, ketika seseorang telah berniat untuk menikah dengan seseorang gadis idamaNR apakah kemudian kehidupannya akan lancar selancar tiupan angin di laut? Kenyatan tidak selamanya demikian. Untuk membangun rumah tangga diperlukan ilmu yang mumpuni baik tentang ilmu rumah tangga maupun ilmu yang lainnya, sehingga ketika suami istri yang sedang berlayar di samudra lepas tidak mudah tergoyang oleh ombak samudra maupun tertabrak batu karang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan nikah?
2.      Apasajakah tujuan dari sebuah pernikahan?
3.      Apakah hikmah dari sebuah pernikahan?

C.    Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan nikah?
2.      Untuk mengetahui apasajakah tujuan dari sebuah pernikahan?
3.      Untuk mengetahui apakah hikmah dari sebuah pernikahan?

D.    Manfaat Makalah
1.      Memberikan informasi sekilas bagi yang belum mengetahui tentang Nikah, dan mengajak sedikit mengingat bagi yang telah mengetahui tentang Nikah.



BAB II
PENGERTIAN, TUJUAN, DAN HIKMAH NIKAH

A.    Pengertian
Anwar Harjo (1987:220) mengatakan bahwa perkawinan adalah bahasa (Indonesia) yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan Nikah atau Zawaj dalam istilah fiqih. Para fuqoha’ dalam mazhab empat sepakat bahwa makna Nikah atau Zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengandung arti tentang sahnya hubungan intim.[1]
Menurut bahasa kata “Nikah” berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindak dan menasukan). Dalam kitab lain kata “Nikah” diartikan dengan adh-dhammu  wa al-jm’u (bertindih dan berkumpul). Oleh karna itu kebiasaan orang Arab, pergesekan bambu akibat tiupan angin diartikan dengan istilah tanakahatil asyjar (rumput pohon itu sedang kawin), karna tiupan angin itu menyebabkan terjadinya pergesekan dan masuknya rumpun satu ke ruangan yang lain.
Menurut istilah imu fiqih, “Nikah” berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan untuk melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh Nikah atau Zawaj.[2]
Pengertian perkawinan sebagai mana di jelaskan oleh Slamet Abidin dan Aminudin (1999:10) terdiri atas beberapa definisi yaitu sebagai berikut:
1.      Ulam’ Hanafi mendifinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai suatu akad yang berguna memiliki mut’h dengan sengaja. Artinya seorang laki-laki dapat menguwasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan;
2.      Ulama’ Syafi’i mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafazh Nikah atau Zawaj yang menyimpan arti memiliki. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya;
3.      Ulama’ Maliki menyebut bahwa perkawinan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga;
4.      Ulama’ Hambali mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan menggunakan lafazh Nikah atau Zawaj untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya. Dalam pengetian di atas terdapak kata-kata milik yang mengandung pengertian hak untuk memiliki melalui akad nikah. Oleh karena itu suami suami istri dapat saling mengambil manfaat untuk mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah di dunia.[3]
Menurut pendapat yang sahih, pengertian dari nikah adalah akadnya, sedangkan secara majas menunjukkan ma’na wathi’ (persetubuhan).[4]

B.     Tujuan
Secara material, sebagaimana dikatakan oleh Sulaiman Rasyid, tujuan pernikahan yang dipahami oleh kebanyakan pemuda dari dahulu sampai sekarang, antaranya:
1.      Mengharapkan harta benda,
2.      Mengharapkan nasabnya,
3.      Ingin melihat kecantikannya,
4.      Agama dan budi pekertinya yang baik,
Tujuan yang pertama  HARTA, kehendak ini datang dari pihak laki-laki baik pihak perempuan. Misalnya ingin menikah dengan seorang hartawan, sekalipun dia tahu bahwa pernikahan itu tidak akan sesuai dengan kehendak dirinya dan kehendak masyarakat. Pandangan ini bukanlah pandangan yang sehat, terlebih kalau hal ini terjadi pada pihak laki-laki, sebab hal itu sudah tentu akan menjadikan dirinya jatuh di bawah pengaruh perempuan dengan hartanya.[5]
Tujuan yang kedua  NASAB, menikahi wanita yang nasibah, yakni wanita yang dikenal sebagai wanita berketurunan baik karena berkaitan dengan ulama-ulama dan orang-orang shaleh, seperti anak dari seseorang Kyai lebih utama dari pada mengawini yang lainnya[6]
Tujuan yang ketiga  CANTIK, menikahi wanita yang cantik adalah lebih baik karena ada hadits yang mengatakan, “sebaik-baik wanita ialah wanita yang menyenangkanmu bila kamu pandang”[7]

C.    Hikmah
Rahmad Hakim (2000:27-30) memaparkan bahwa hikmah Nikah adalah sebagai berikut:
1.      Menyambung Silaturahim
Pada awalnya Tuhan hanya menciptakan seorang manusia, yaitu Nabi Adam a.s. kemudian Tuhan menciptakan Siti Hawa sebagai pasangan Nabi Adam a.s. setelah itu manusia berkembangbiak menjadi berbagai kelompok yang tersebar keseluruh alam karena desakan habitat yang menyempit serta sikam keingin tahuan manusia akan isi dari alam semesta. Mereka makain menjauh dari lokasi asal dan nenek moyangnya, membentuk kelompok sendiri yang menyebabkan terjadinya perubahan, peradapan, bangsa, dan warna kulit hingga akhir mereka tidak mengenal satu sama lain. Datangnya Islam dengan pernikahan memberi peluang menyambung kembali tali silaturahim tali kasih sayang yang telah lama terputus.
Mengapa pernikahan merupakan bentuk silaturahim yang penting dalam membentuk struktur masyarakat? Karna setelah terjadi pernikahan akan terjadi beberapa hal berikut:
a.       Terbentuknya hubungan darah antara suami dan istri;
b.      Terbentuknya hubungan darah antara orangtua dan anak;
c.       Terbentuknya hubungan kekeluargaan dari pihak suami-istri;
d.      Terbentuknya hubungan kerabat antara anak-anak dari orang tua suami-istri (mertua);
e.       Terbentuknya hubungan waris-mewarisi;
f.       Terbangunnya rasa solidaritas sosial diantara sesama keturunan;
g.      Terbentuknya persaudaraan yang panjang hingga akhir hayat;
h.      Terbentuknya masyarakat yang berprinsip kepada sikap yang satu, yakni satu ciptaan, satu darah, dan satu umat di mat Allah SWT sang maha pencipta.[8]
2.      Mengendalikan Nafsu Syahwat yang Liar
Seseorang yang belum berkeluarga belum memiliki ketetapan hati dan pikiranpun masih labil. Dia tidak memiliki pegangan dan tempat untuk menyalurkan hati dan melepaskan kerinduan serta gejolak nafsu syahwatnya. Dengan pernikahan sifat-sifat seperti itu dapat dikendalikan walaupun tidak seluruhnya dengan baik dan benar menurut syariat Islam dan nilai-nilai kemanusiaan.
3.      Menghindari Diri Dari Perzinaan[9]
Karena dengan menikah berarti kita telah menemukan tempat yang halal untuk kita menuangkan segala rasa hawa nafsu yang telah bergejolak.
4.      Estafet Amal Manusia
Untuk melanjutkan amal serta cita-cita yang terbengkalai, di perlukan seorang penerus yang mampu meneruskan amal dan cita-cita tersebut. Anak sebagai pelanjut cita-cita dan penambah amal orang tuanya.
5.      Keindahan Kehidupan
Pada umumnya manusi memiliki sifat materialistis. Manusia selalu menghendki perhiasan yang banyak dan bagus, baik itu emas, permata, kendaraan, dan rumah mewah alat-alat elektronik, maaupun perhiasan yang imaterial, seperti titel dan pangkat. Menurut ajaran Islam istri yang shalehah adalah perhiasan yang terbaik diantara perhiasan duniawi, seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang sholehah”.
Wanita yang sholehah tidak didapati di dunia yang hitam walaupun disana terlihat berkeliaran wanita yang cantik dan indah. Wanita yang shalehah hanya dapt ditemukan melalui lembaga pernikahan jadi pernikahanya dilakukan bukan karena dari segi fisik saja tetapi juga karena sikap hidup dan akhlaq yang baik.[10]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perkawinan/pernikahan merupakan bagian dari ajaran islam. barang siapa menghindari perkawinan/pernikahan, bearti ia telah meningglakan sebagian dari ajaran agamanya. di samping itu. pernikahan dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat atau/zina  perkawinan bertujuan untuk mewujud kan ke hidupan rumah tangga yang sakinah .
Rumusan ini berdasar kan  Al Quran dalam surah Ar Rum  ayat 21
Yang artinya:  di antara ke kekuasaa-Nya dia menciptakan untuk mu isteri isteri dari jenis mu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram ke padanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayanng sesungguh nya, pada yang sedemikian itu benar benar terdapat  tanda tanda ke pada mereka kaum-kaum yang berfikir

B.     Pesan dan saran
Karena makalah ini tidk seindah seperti apa yang teman-teman harapkan maka carilah referensi yang lebih dari apa yang ada pada makalah ini tentang berbagai penjelasan mengenai Nikah.
Segeralah menikah bagi yang sudah mampu, dan berusahalah untuk menjadi mampu bagi yang belum merasa mampu untuk mengejar pangeran atau ratu IdamaNR. (I LOVE U)

C.    Kritik Makalah
Diterima kapanpun dan dimanapun.

D.    Pengakhir Makalah
Demikianlah makalah yang dapat kami buat dengan sebisa-bisanya, yang didorong oleh nikmat Allah SWT baik sehat, sempat maupun nikamat dapat melihatnya tersenyum, hehe,,,,,,
Sekian dari kami Wallahul Muwafieq Ilaa Aqwamith Tharieq
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Beni Ahmad Saebani, 2001, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung.
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Magribi Aal-Fannani, 2011, Terjemahan fat-hul Mu’in 2, Sinar Baru Algensindo, Bandung.
Ahmad Saebani Beni, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia
Huzaimah Tahido Yanggo, 2005, Masail Fiqhiyah, Angkasa, Bandung.




[1] Ahmad Saebani Beni, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 9
[2] Ibid, hlm. 11
[3] Ahmad Saebani Beni, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 17
[4] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Magribi Aal-Fannani, Terjemahan fat-hul Mu’in 2, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 1154
[5] Ahmad Saebani Beni, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 20
[6] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Magribi Aal-Fannani, Terjemahan fat-hul Mu’in 2, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 1172
[7] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Magribi Aal-Fannani, Terjemahan fat-hul Mu’in 2, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 1173
[8] Ahmad Saebani Beni, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 142
[9] Yanggo Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah, (Bandung: angkasa, 2005), hlm 133
[10] Ahmad Saebani Beni, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 134

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN FUNGSI PSIKOLOGI ISLAM

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN KEGUNAAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

PENGERTIAN PSIKOLOGI ISLAM